Kamis, 07 Maret 2013

Gundah Gulana Seorang (pendukung) Arsenal


Probabilitas yang begitu besar akan ketersingkiran Arsenal di tangan Bayern Munich di Liga Champions, pastilah menorehkan rasa sakit yang dalam bagi para pendukung Arsenal. Kalau sampai kalah atau seri atau tidak menang telak, kepastian mereka akan kembali hampa juara harus mereka terima. Dan musim paceklik juara untuk Arsenal akan semakin panjang: delapan musim.

Rasa sakit itu semakin menghunjam kalau mengingat untuk kompetisi domestik saja mereka kini tidak lagi ditakuti. Tidak di Piala Liga, tidak di Piala FA, tidak pula di Premier League. Bukan berarti Arsenal lalu menjadi klub medioker, tetapi kalau tidak hati-hati kemungkinan itulah yang dikhawatirkan pendukungnya.

Untuk klub sesukses Arsenal hal ini jelas sulit diterima. Apalagi Arsenal di bawah asuhan Arsene Wenger. Suka atau tidak dengan Arsenal (atau Arsene Wenger), klub ini sejak Wenger menjadi manajernya tahun 1996 menjadi salah satu barometer permainan bola yang cantik di Inggris. Bukan sekadar bermain cantik tetapi sukses mendulang prestasi. Hingga tahun 2005 mereka meraih 11 piala domestik dan sekali masuk ke final Liga Champions Eropa tahun 2006 ketika kalah dari Barcelona. Bukan catatan yang jelek.

Bolehlah orang mencibir mereka belum tembus Eropa. Tetapi menjadi raja kompetisi domestik juga bukan persoalan mudah. Dibutuhkan konsistensi yang luar biasa sepanjang tahun. Ingatlah ketika mereka mencetak sejarah sebagai klub pertama dalam sejarah Liga Primer Inggris yang tidak terkalahkan sepanjang kompetisi liga tahun 2003/2004. Karenanya, "The Invincible (Tak Terkalahkan)," teriak pendukungnya saat itu. "In Arsene we trust (kita percaya sepenuhnya pada Arsene)!," ujar mereka dengan kekhidmatan layaknya umat.

Tetapi jangan pernah memasrahkan hidup anda pada penggemar bola. Mereka ini salah satu kelompok manusia paling susah dipercaya. Mereka yang meneriakkan The Invincible dan In Arsene we trust adalah mereka pula yang sekarang paling keras menggerutu agar Arsene Wenger mundur. Tentu ada pula yang menyalahkan para direktur badan perusahaan sepakbola Arsenal yang dianggap hanya memikirkan keuntungan keuangan bukan prestasi. Tetapi sebagian besar tetap menyalahkan Wenger, "ide permainannya ketinggalan jaman, keras kepala, tak punya ambisi, tidak bisa melihat bakat," dan sekian macam atribut tak mengenakkan diarahkan kepada manajer asal Prancis ini. Setiap kali Arsenal kalah atau terseok-seok dalam sebuah pertandingan, di radio, televisi, online dan media cetak, tema itu muncul tanpa kendat. Bahkan kalaupun Arsenal menang, jika tidak telak, pendukung Arsenal akan dengan cepat mengritik Wenger.



Delapan tahun tanpa juara memang bisa membuat orang amnesia akan betapa berjasanya manusia satu ini untuk Arsenal. Setiap kali pendukung Arsenal menjatuhkan pantat mereka di kursi stadion Emirates, dengan sudut pandang yang sama enaknya ke lapangan pertandingan, lapangan yang ideal untuk bermain bola, fasilitas pendukung stadion yang kelas satu, longgar dan nyaman, bahkan akustik stadion juga diperhitungkan untuk memaksimalkan suara nyanyian dan teriakan dukungan penonton; sudah selayaknya mereka ingat bahwa tanpa seorang Arsene Wenger, stadion itu tak akan pernah ada. Wenger-lah penggagasnya. Ia ikut merancang stadion agar bisa memberi pengalaman terbaik menonton sepakbola. Wenger bahkan ikut memberi spesifikasi ketebalan rumput agar permainan cantik bisa diperagakan.

Saya masih ingat pengalaman beberapa kali menonton pertandingan di stadion lama Arsenal, Highbury, ketika diajak teman baik bekas sekantor pemegang tiket tahunan Arsenal. Segala sesuatunya berlawanan dengan pengalaman menonton di Emirates ini. Dalam penilaian saya, stadion Emirates adalah stadion sepakbola terbaik di Inggris. Dan itu buah tangan Wenger.

Bukan itu saja. Wengerlah, walau tidak secara langsung, yang membantu penyediaan dana untuk pembangunan stadion ini. Prestasi sepakbola gemilang Arsenal selama sembilan tahun pertama keberadaannya di klub ini memberi fasilitas bagi tenaga pemasaran klub untuk mengekspolitirnya. Para sponsor saling berebut untuk diasosiasikan dengan Arsenal karena citranya: klub yang sukses dan menampilkan permainan cantik, cerdas, punya kelas tersendiri. Citra itu, adalah sumbangan terbesar Wenger bagi Arsenal. Hal lain yang harus diingat oleh pendukung Arsenal.

Wenger juga dikenal bertangan dingin untuk melihat potensi pemain muda dan mematangkannya. Betapa banyak pemain yang besar dan punya di bawah asuhan Wenger sebelum kemudian pergi melanglang sukses di lain klub. Daftarnya akan berderet. Seberapa banyak keuntungan keuangan Arsenal di dapat dengan jalan itu.

Teman baik yang sering mengajak saya menonton Arsenal adalah satu dari sedikit pemuja Wenger yang kini berbalik mengecamnya. Setiap kali saya mengajukan fakta-fakta seperti yang saya tulis di atas, ia hanya tertawa dan mengatakan saya tak memahami perasaan dan caranya berpikir sebagai pendukung Arsenal. Ia juga menyebut saya, seperti orang di luar Arsenal lainnya, termakan apa kata media. Ia selalu mempunyai jawaban ajaib untuk mementahkan apa yang saya kemukakan.

"Kamu tahu, Emirates memang stadion ideal tapi itu juga kutukan," katanya dalam salah satu perbincangan kami.

"Sejak pindah tahun 2006, kami tak lagi ditakuti di kandang sendiri. Stadion itu tak punya nyawa, tak punya atmosfer, tak punya wibawa seperti di Highbury."

Ia lalu menyebutnya betapa kini Arsenal sering kalah melawan klub ecek ecek di Emirates.

Bagi dia satu-satunya cara untuk menghilangkan kutukan itu adalah membuang Wenger agar kaitan antara Highbury dan Emirates bisa diputus dan memulai segala sesuatunya dari nol, kertas putih yang bersih. Ini tentu saja omong kosong dan salah satu tahayul terbesar yang pernah saya dengar. Tetapi ia yakin dengan itu.

Namun ada juga pernyataannya yang masuk akal dan saya setujui. Wenger adalah manajer yang hebat tetapi juga beruntung. Ia selalu mengingatkan saya bahwa ketika Wenger pertama kali datang ia mewarisi pemain-pemain hebat. 

"Kami pendukung Arsenal 80-an tidak pernah melupakan, ia (Wenger) mewarisi salah satu benteng pertahanan paling kokoh dalam sejarah persepakbolaan Inggris: David Seaman, Nigel Winterburn, Lee Dixon, Steve Bould, Martin Keown dan Tony Adam. Ingat mereka? Itu tinggalan George Graham."

"Oh satu lagi. Di depan ada Ian Wright dan Denis Bergkamp. Mereka bukan pemain temuan Wenger. Kalian yang bukan pendukung Arsenal ingatnya hanya Thierry Henry, Patrick Vieira, Emmanuel Petit ataupun Robert Pires. Ya 'kan?" tuduhnya asal-asalan.

Bahwa Wenger kemudian mampu meracik mereka dan perlahan-lahan menggantikan mereka dengan pemain-pemain baru yang tak kalah hebatnya serta menampilkan permainan yang cantik, semua pendukung Arsenal termasuk teman saya ini setuju. 

"Tetapi kami sudah membayar kesetiaan kami kepada Wenger selama delapan tahun tanpa gelar. Sudah saatnya orang lain mengambil alih dengan ide-ide baru," tegasnya yakin. "Kalau tidak saya tidak akan memperbaharui tiket musiman untuk tahun depan."

Namun lucunya kalau ditanya siapa yang layak menggantikan Wenger, mereka, termasuk teman saya ini kelabakan tak bisa menjawab. Mereka hanya tahu pokoknya Wenger harus diganti.

Dua hari lalu sebelum mengirim tulisan ke detik saya menelpon teman saya ini untuk sekadar bertegur sapa. Kami hanya sekali-sekali bertemu bertemu setelah saya pindah kantor. 

"Ke Munich, nggak?" iseng saya bertanya. 

"You kidding me. You'll witness the biggest upset my friend. I promise you that. I am going. Come on Arsenal!" teriaknya menutup percakapan. 

Saya tertawa. Penggemar bola ... ada-ada saja. Lupa dia akan keluh kesahnya. Lupa dia akan kekesalannya. Lupa dia akan gundah gulananya.



mengcopy catatan seorang yang cerdas
http://sport.detik.com/aboutthegame/read/2013/03/07/140717/2188537/1489/gundah-gulana--seorang--pendukung-arsenal?a991101mainnews