Selasa, 18 Oktober 2016

Berkilahlah dengan Lidah, tapi Hati Takkan Menolak Kebenaran

Ada orang yang tidak mengerti tapi bicara banyak, saya hanya mengerti sedikit dan saya ingin bicara sedikit saja. Orang yang tidak mengerti akan mengatakan,

"Coba kita saling memaafkan, itu jauh lebih baik. Dia hanya khilaf. Jangan lihat kesalahannya, coba lihat kebaikannya yang sedikit." Tidak ada yang salah dengan kalimat ini, semua benar saling memaafkan adalah prilaku terpuji. Tapi ada pengecualian maaf pada hal-hal tertentu yang tidak dia pelajari, mendapatkan maaf mudah saja tapi konsekuensi dari kesalahan itu harus tetap diproses.

Apa bisa setelah membunuh minta maaf lalu urusan selesai? Apa bisa setelah memperkosa meminta maaf urusan selesai? Apa bisa? Bukankah jika ada laporan maka sudah semestinya diproses karena kita punya perundang-undangan, kita punya hukum. Semuanya memiliki aturan jika dilanggar ada sanksi yang harus diterima.

Sekarang mari berhitung berapa kali dia buat kesalahan? Berapa kali dia buat kebaikan? Kenyataannya kesalahan lebih banyak, berapa banyak kami sudah memaafkan? Tapi ada kesalahan yang bisa saja menerima maaf tapi tidak bisa mendapat maaf. Kalian mengimani apa yang kalian imani, kami muslim mengimani apa yang kami imani. Ketika kalian mau menyamakan cara kalian mengimani dengan cara kami beriman maka jelas berbeda. Walau sebenarnya aturan kita sama datangnya dari tuhan yang Esa Allah Subhana Wata'ala.

Kasus yang sedang ramai saat ini adalah penistaan terhadap kitab suci Al-Qur'an, walau satu ayat tapi itu sudah menistakan seluruhnya. Cukup berhenti sampai kasus ini saja, jangan sampai muncul kasus baru jika kasus ini tidak ditindak. Kemarin hukum Allah telah dilecehkan jika tidak ditindak hukum negeri ini artinya juga sudah diinjak-injak.

Cerdaslah dalam berpikir, berbicara, dan memutuskan. Kalian mungkin bisa berkilah dengan lidah jika semua itu hanya kesalahan semata, kekhilafan saja. Tapi apa kalian mampu berkilah dengam hati? Bukankah apa yang keluar dari lidah itu juga yang sebenarnya tertanam dalam hati, jadi cepat atau lambat, kini atau nanti semua akan terlihat.

Hati kita tidak mungkin menolak suatu kebenaran terlebih kebenaran tersebut datangnya dari Allah subhana wata'ala. Jangan sesekali mengingkarinya, jika tidak ingin batin tersiksa. Kami sudah memaafkan bila maaf itu benar-benar tulus, tapi maaf itu nampaknya hanya sandiwara. Maafkan hamba yang maha pemberi maaf, bila berprasangka buruk. Nampak terlihat dari kasus taman rusak, jika memang maaf itu tulus tidak perlu lagi bersandiwara dengan hal kecil yang dibesar-besarkan untuk menutupi hal besar dari demo tersebut untuk dikecil-kecilkan.

Apa maksud dari semua ini bukankah perbuatan tersebut untuk berkilah atau melarikan diri dari kasus yang sudah berjalan. Kebenaran itu akan tetap tegak walau badai sekencang apapun menerpa, dan untuk kalian yang masih mendukung atau sengaja mengorek-ngorek kamus sampah-sampah kata yang digunakan dan didaur ulang menjadi kalimat pembelaan atas kesalahan pada kasus penistaan, kalimat yang tepat hanya satu.

"Hati kalian tidak mungkin menolak sebuah kebenaran, sekalipun mulut kalian berbusa-busa menyusun kalimat untuk berkilah dari kebenaran tersebut."

Senin, 17 Oktober 2016

Kita Masih Muda

Hakikatnya kita sama, pada tujuan akhirnya
Berdasi atau tidak, berkopiah atau tidak
Berakhirnya pada tempat yang sama
Tanah galian, pada bidak-bidak

Tapi dunia, kemana tujuannya?
Kita sama hanya butuh sebuah pengakuan
Atau diakui, pengakuan atau diakui
Jiwa muda memang suka membara

Memang suka membara, itulah mengapa perlu penenang
Biarkan meledak-ledak semaunya,
Tapi perlu cara agar terarah, tak tenggelam pada gamang
Jiwa muda biarkan bergelora, bergerak semaunya

Mengapa juga ada siang, jika terik tak terasa
Mengapa ada malam, bila gelapnya tak ada
Karena panas itu semangat teruji,
Karena gelap itu gemerlap bintang ada

Kita masih muda, salah itu biasa
Tapi jangan marah dalam hati
Melawan kenyataan itu melelahkan
Sakit hati itu tak bisa basi

Kamis, 13 Oktober 2016

Tandusnya Hukum Di Negeri Ini

Saya tidak pintar, tapi saya percaya ulama, karena mereka yang lebih mengerti tuntunan hidup yang nabi ajarkan. Saya, siapakah saya? Hanya seonggok hamba yang mengharap surga walau berlimpah dosa setiap harinya. Jaman ini jaman yang tidak bersahabat untuk kita, anak kita, dan penerus bangsa ini. Jaman dimana kenyataan seperti dongeng, dongeng seperti kenyataan. Ada orang-orang yang melakukan kesalahan kemudian mengaku khilaf dalam kepalsuan, urusan selesai. Ada orang yang marah karena memang teraniaya lalu di tuduh mencemarkan nama baik, isu SARA, merusak persatuan bangsa, teroris, dan sebagainya seenak mereka menyebut panggilan-panggilan miring untuk orang-orang yang dikucilkan.

Bagaimana ulama tidak dihargai sebagian orang, mereka mengolok-olok ulama, hanya untuk kepuasan dalam berpolitik. Saya belum juga puas membahasnya karena ada dongkol dalam hati, tapi saya berusaha untuk tidak membenci, kalau bisa negara ini bersatu dan saling menghormati sesama. Jangan malah dirusak oleh sebagian kecil-kecil orang yang hati buntu, telinganya tuli, matanya buta, sifat manusianya hilang. Sebagian orang yang menghalalkan segala cara hanya karena syahwat politik, yang menghancurkan Bhinneka Tunggal Ika untuk kepentingan pribadi kelompoknya. Hukum tidak mampu mengadili, tajam kebawah tumpul keatas, media menuntun kita pada opini yang bukan kenyataan, lalu apa yang menjadi patokan informasi kita. Media sosial sering kali Simpang siur.

Kala Muslim yang mengekspos kesalahan orang lain, seenaknya saja disalahkan sebagai pencemar nama baik, lalu dijadikan tersangka. Sementara penghina agama, kitab suci, ulama, ummat, bahkan uu negara ini, dibiarkan bebas belum dicokok. Lucunya negeri ini, lucunya! Lalu kiri-kanan pendukungnya mulai mengorek-ngorek alasan untuk pembenaran. Bagaimana bisa yang salah dibenarkan dan yang benar disalahkan? Pertanyaan ini berlaku 50 tahun yang lalu, sedangkan hari ini semua bisa. Rasanya keadilan itu bisa dilelang berdasarkan harga, menyakitkan.

Jika semua ulama' sudah menyatakan sikap Seiya dan sekata pada satu keputusan, masihkah kita meragukan. Tapi masih saja saya menjumpai pembelaan-pembelaan yang akhirnya malah memperolok-olok ulama', perih rasa hati ini. Tapi siapakah saya yang tidak bisa membuat keputusan atau memutuskan. Mereka si pembuat keputusan hanya menonton? Jaman macam apa ini? Jaman yang sungguh tak bersahabat.

Skenario yang mereka bangun kadang buat orang seperti saya jadi tidak cerdas dalam melihat. Sutradara politiknya sungguh luar biasa, membutakan mata-mata kami yang tidak pandai memilah. Dibohongi itu menyakitkan, saya bertanya mafia macam apa yang sedang berkuasa sampai-sampai harimau tergarang cuma jadi anggora dalam kandang. Saya cuma bertanya mafia macam apa yang berkuasa sampai-sampai

MUI, Ulama, Ustadz, petinggi agama kini dilecehkan oleh orang-orang haus akan kekuasaan yang hanya sementara mereka bertakhta. Silahkan saja berkuasa tapi tetaplah mengikuti aturan yang Allah Subhana Wata'ala berikan, bukan malah melawannya dengan mulut-mulut kotor, tulisan-tulisan menjijikkan, perilaku binatang yang ditunjukkan. Tapi hari ini bahkan hukum Allah Subhana Wata'ala saja sudah berani dilawan, kita hanya perlu menunggu azab apa yang akan ditimpakan pada kemungkaran yang sedang terjadi.

Kering benar kebenaran dan keadilan di negeri ini, kita bisa merasakan betapa tandus nya hukum yang sedang berjalan. tapi apa yang bisa kita perbuat, diam, menonton, melawan, dilengserkan, benar, dipelesetkan, tidak ada lagi kita temukan bibit-bibit hijau yang mau tumbuh di tanah tandus ini. Marilah kita berdoa agar seluruh ummat atau pelaku-pelaku penistaan tersebut bertaubat dan kembali pada jalan yang benar.

Aku Takut Pada Diri Sendiri

Aku, takut pada diri sendiri
Paham satu sering bicara lima
Syahdu memang didengari
Padahal disana ladang dosa

Aku, takut pada diri sendiri
Indah di mata, busuk di hati
Menelisik pada tiap pagi, jika diri adalah taman bunga
Menjerit dimalam hari menyesali siang tadi hanya sandiwara

Aku, takut pada diri sendiri
Mati-matian mengejar harta, tertipu dunia
Padahal satu yang pasti, besok aku mati
Setelah habis harta untuk lari dari mati, aku mau hidup di dunia selamanya
Tapi satu yang pasti lusa aku mati

Aku, takut pada diri sendiri
Seringkali hilang arah, lupa jalan kembali
Pulang pada ketenangan, pinta hati
disana selamanya, dunia hanya sehari
Aku takut pada diri sendiri

Minggu, 09 Oktober 2016

Serakah dalam Rasa

Kelihatannya mudah sekali jatuh cinta
Bukan ini hanya coba-coba
Bila beruntung memilikinya bila tidak,
Hati sudah lama kapalan, mari rasa

Kalau kamu cuma mau bermain, mari kemari
Kita mainkan rasa-rasa senyap itu, setelahnya kita Pulang ke masing-masing dahan
Kalau takut atau sekiranya ngeri
Tetaplah dalam perih dan coba bertahan

Masing-masing kita haus dan serakah dalam percintaan
Meminta lebih lalu lebih sampai membazir rasa yang tercipta
Kita belum dalam ikatan,
Bisa jadi, tapi kita memang serakah dalam rasa-rasa

Kemarilah, Ayuk bermain rasa
Henpas nafsu serakah cinta kita
Setelahnya bisalah kita Pulang
Kembali rebahan padanya, sayang

Sabtu, 08 Oktober 2016

Penguasa yang Terpeleset Lidahnya

Kesalahan Seorang pemimpin yang tidak mengerti Al-Quran kemudian membantahnya dengan kata-kata "bodoh",  penguasa tersebut menganggap jika ayat Al-Quran yang menjadi kewajiban untuk ditaati bagi muslim itu layaknya ucapan manusia yang dituliskan ke media untuk memprotes dirinya. Berulangkali kata-kata lawan politik berhasil dia patahkan, dia kalahkan, dia buat bertekuk lutut. Sebuah prestasi yang luar biasa, tapi satu hal yang telah membuat dia tenggelam dalam lubang yang beliau gali sendiri, keangkuhan, kesombongan, merasa paling benar sendiri diantara yang lainnya telah mencelakakan dirinya sendiri. Pada akhirnya beliau terpeleset juga oleh lidah yang sepanjang dirinya berkuasa banyak mengeluarkan kata-kata kotor, menyalahkan orang lain, tidak pernah sekalipun kita mendengar pengakuan akan kesalahan dirinya.

Al-Maidah ayat 51, akhirnya blunder yang dilakukan seorang penguasa telah membukakan mata ummat muslim tanah air untuk mempelajari Al-Quran walau hanya satu ayat, penulis pun merasakan hal yang sama. Sadarilah jika sudah terlalu banyak perbuatan yang melenceng dari aturan maka akan ada peringatan yang datang dengan berbagai cara dan beginilah salah satu cara Allah mengingatkan kita,

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim." Ayat ini telah menjadi tembok besar yang menghalangi jalan akan hausnya si penguasa terhadap kekuasaan. Mungkin dia berpikir bisa melawan tembok besar tersebut dengan lidahnya, sayangnya manusia itu hanya hamba yang diperintahkan untuk bersujud dan meminta. Dia lupa bila dirinya hanya manusia biasa, dia lupa akan kodratnya.

Kita diingatkan karena telah lama jauh dari Al-Quran, maka blunder penguasa itu memaksa kita untuk mengkajinya. Jika masih ada ummat muslim yang memilih penguasa tersebut nantinya, maka patut dipertanyakan dimana ketaatannya kepada Allah Subhana Wata'ala, Allah yang telah memberikan kesempatan kita untuk bernafas sepanjang hari, menyediakan rezeki-rezeki dimuka bumi dengan bebas kita memetiknya sepanjang waktu. Kita pertanyakan hati-hati mereka?

Beberapa hal yang bisa kita pelajari dari surat Al-Maidah ayat 51 yang belakangan jadi perbincangan khalayak dan menyebabkan tertimbunnya sebuah kesombongan seorang penguasa, dia salah mengira dan terlalu menganggap remeh firman Allah Subhana Wata'ala.

Yang pertama, hapus kesombongan dalam diri kita. Sombong akan memberikan kita akhirnya yang pahit, dihindari banyak orang, bahkan dimusuhi manusia lain. Murka Tuhan juga akan turun, kesombongan pada titik akhirnya juga akan menjadikan si pemiliknya merasa lebih tinggi dari Tuhan, seperti yang telah Fir'aun perbuat di masa lalu.

Yang kedua, kita yang perlahan menjauh dari Al-Quran diingatkan untuk kembali membacanya, mengkajinya, menjadikannya kembali sebagai pedoman hidup. Al-Quran seringkali sampai lusuh dan berdebu di dalam rumah-rumah kita, akibat lama tidak tersentuh. Bahkan ada juga rumah-rumah yang didalamnya tidak kita temui Al-Quran, miris rasanya. Kini anak-anak kita lebih gemar melafalkan nyanyian daripada mengucapkan ayat-ayat suci Al-Quran. Mereka terlena dengan segala kegiatan yang berleha-leha, padahal ujungnya hanya sebuah kesia-siaan.

Yang ketiga, kita jadi faham tatacara memilih pemimpin dalam Islam. Selama ini banyak tukang ojek, pedagang kaki lima yang tidak mengerti agama saling berdebat tentang si penguasa yang lidahnya baru saja terpeleset. Mereka yang membela berkobar-kobar membeberkan prestasi-prestasi tanpa menengok kesalahan pujaannya, sedangkan orang yang membantah tidak begitu kuat dengan argumen-argumennya, sehingga tidak ada penyelesaian dari perdebatan yang berakhir dengan kesia-siaan.

Seringkali diantara mereka terjadi pertengkaran, dan hari ini sudah seharusnya perdebatan dan pertengkaran mereka berakhir karena Allah Subhana Wata'ala telah menunjukkan kebenaran. Menunjukkan cara memilih pemimpin yang benar. Syaratnya yang jelas sudah dibuka sendiri orang si penguasa yang baru saja terpeleset lidahnya, jangan kita memilih pemimpin dari golongan yang lain selain Islam, karena mereka adalah pemimpin untuk golongannya. Kalau masih ada yang mendukung maka hati mereka benar-benar telah digelapkan oleh tipu daya dunia.

Maka pantaslah kain kafan disematkan pada tubuh mereka seperti ucapan Buya Hamka,

"Jika GHIRAH telah hilang dari hati, gantinya hanya satu, yaitu KAIN KAFAN tiga lapis. Sebab hilangnya GHIRAH sama dengan mati." begitulah yang Buya Hamka sampaikan, sekarang marilah kita mulai berpikir dan merenungi bagaimana hati kita tidak tersentuh sedikitpun saat kitab suci kita, agama kita, keyakinan kita dilecehkan. Mari cerdas, mari kembali kepada Al-Quran sebagai pedoman. Mari munculkan kembali GHIRAH dalam hati kita.



Jumat, 07 Oktober 2016

(M) Mari Menangis

(M)mari sini, menangislah sepuasmu, dibahu ini
Biarkan hari berlalu, waktu jangan jadi alasan
Waktu bukan alasan, waktu memang begitu
Hari, apa yang berjalan dan tidak kembali

Mari kita bersiap menerima, menerima apa yang akan di sesali
Langit senja dilantai 6 itu terasa perih
Dia bercerita tentang gelap malam nanti
Ruang-ruang kosong, yang harus siap kita tempati

Aku siap berlari kencang, aku sudah berlari
Aku mau mengisi kekosongan, aku ingin, lalu bagaimana denganmu saja?
Mari angkat kedua belah tangan, pandang langit
Mari berpaling dari senja, kita cari sajadah
Sujud kemudian ayo mengadu dalam sesak

(M)Aku siap menggali hari, menjadi bahu jalanmu
Mari angkat kedua bilah tangan, pandang langit
Kemari, sini menangis lah bersamaku
Cengenglah di bahu ini sampai engkau mampu
Letakkan bebanmu disini bila mau, aku sudah siap menghapus kelabu
Angkat kedua tangan kita,

Kamis, 06 Oktober 2016

Ada Orang yang Tak Sadar, Bunuh Diri

Kemarin ada orang yang merobek wajah sendiri
Sementara dia mengira telah menyiksa orang lain
Dia mencabik-cabik diri sendiri
Tanpa sadar, dia kira bunuh manusia lain

Dia berkaca kemudian menuduh bayangannya
Dia berjalan pada terik, bayangan yang bersamanya pergi menjauh
Siapa dirinya? Siapa dia? Siapa sebenarnya?
Sungguh kasihan, dia yang berjalan pada ranjau yang ditaruh sendiri

Ranjau itu kapan saja akan makan tuannya
Sudah terlalu rabun pandang matanya, sampai ranjau sendiri tak terlihat
Sudah terlalu pikun dirinya, sehingga ranjau sendiri dia lupa
Ada orang yang tak sadar dirinya telah membunuh diri sendiri


Rabu, 05 Oktober 2016

Siapa Anda sebenarnya? Beraninya Menyikut Keyakinan Kami!

Saya hanya ingin bertanya, sebenarnya apa yang Anda kejar dari sebuah jabatan? Kekuasaan atau harta? Atau sesuatu yang lebih besar yang sedang dalam perencanaan? Mengapa selama Anda menjabat lebih banyak sensasi dibanding hasil? Saya hanya seorang pemuda yang doyan memperhatikan meme-meme lucu di Instagram dan medsos lainnya. Bahkan meme lucu ini lebih mendidik dibandingkan dengan cara Anda bertingkah, apakah hati Anda sudah terlalu gelap sehingga menyinggung sebegitu banyak masyarakat Jakarta hanya untuk sebuah kekuasaan yang terus Anda kejar hanya lima tahun ke depan yang tidak abadi, maaf bukan masyarakat Jakarta saja yang tersinggung, Indonesia, bahkan Muslim dunia.

Hari ini adalagi ucapan baru Anda yang menggegerkan pemberitaan, saya cuma mampu menulis jadi saya menulis, dan saya tidak suka anarkis. Kalau saya anarkis Anda bilang teroris, kalau saya anarkis Anda pasti bilang,

"Katanya agamanya mengajarkan kedamaian terus kenapa anarkis?" Anda sekalian mengerti akan ajaran agama kami yang damai, tapi kenapa melarang menjalankan perintah agama kami yang lainnya untuk memilih pemimpin Muslim? Bukankah itu sudah mencampuri apa yang seharusnya jadi batas yang tidak Anda lewati? Kalian hanya suka meletakkan air dingin dimeja kalian sedang membiarkan kami haus ditengah gurun, bukan begitu?

Ini memang kompetisi untuk menjadi yang nomor 1 di Jakarta, tapi Anda jangan menyakiti hati orang lain untuk sifat haus kekuasaan Anda. Janji Anda yang manis untuk membangun itu tidak memberikan sebuah kesejahteraan. Membangun dalam kamus Anda tidak diselipkan kata sejahtera bagi masyarakat Jakarta, oleh karena itu banyak orang yang sakit hati. Orang-orang itu, jika mereka tidak legowo maka ada banyak sumpah yang bertebaran menghampiri Anda. Sejak kemarin saya tidak suka menulis tentang politik apalagi membahas Anda gubernur DKI, tapi Anda sudah menyinggung hati saya dengan kalimat ini,

"Kalau Bapak ibu ga bisa pilih saya, karena dibohongin dengan surat Al Maidah 51, macem macem itu. Kalo bapak ibu merasa ga milih neh karena saya takut neraka,dibodohin gitu ya gapapa" Anda bilang begitu ketika berkunjung ke Kepulauan Seribu dan diunggah ke youtube pada senin (26/9/2016). Apa surat Al-Maidah ayat 51 telah membodohi Muslim? Saya bertanya balik kapan Anda lahir ke dunia? Sudahkah Anda mempelajari seluruh ilmu yang ada di jagat raya ini? Apa pencapaian terbaik anda? Siapa Anda sebenarnya? Sehingga begitu berani menentang kitab kami!

Sensasi Anda sudah berlebihan, cukup Anda menggusur masyarakat miskin lalu membela orang kaya yang membangun rumah ditepi laut, itu sudah cukup menyikut hati bapak Jokowi bukan? yang tahu rasa sakitnya menjadi korban penggusuran, itu tidak masalah karena Anda beralasan itu tanah milik negara. Tapi ketika kalimat yang Anda ucapkan di kepulauan seribu kemarin, kalimat itu sangat menyakitkan kami masyarakat muslim, Anda mungkin tidak mengerti tentang Al-Quran bisakah setidaknya menghormati. Apa yang ada dalam Al-Quran adalah kewajiban kami untuk mentaati, saya jadi ingin bertanya Anda ini sebenarnya siapa? Pejabat publik, penggusur, preman yang Anda sendiri minta juluki, atau musuh Muslim, dengan beberapa kalimat yang mulai membuktikan itu? Anda siapa?

Saya juga mau bertanya pada teman Muslim,

"apa kalian memakan babi?"

"Haha, Haha, ya jelaslah tidak! Itukan haram." Kalian akan menjawab seperti ini sambil menganggap ini pertanyaan bodoh yang tidak perlu lagi dilontarkan. Iya dalam Al-Quran ada empat ayat yang melarangnya. Kita Muslim mampu mentaati sepenuhnya, hebat luar biasa.

"Lalu kenapa kalian memilih pemimpin non-muslim?" Sebagian kalian akan terdiam membisu menyadari kekeliruan tapi terhalang kepentingan, sebagian yang lain akan mencaci-maki, ada juga sebagian yang akan terus mengorek-ngorek logikanya untuk mencari pembenaran, begitu bukan? Ada lima belas ayat, bukan, empat ayat yang melarang kita untuk tidak memilih pemimpin non-muslim. Empat ayat bisa ditaati sepenuhnya oleh seluruh Muslim lalu mengapa lima belas ayat yang jelas hampir empat kali lipatnya tapi ada banyak yang menentang, terlalu sulitkah lari dari kepentingan dunia sampai-sampai menggadaikan perintah Allah Subhana Wata'ala.

Sekali lagi saya ingin bertanya siapakah anda Bapak Gubernur yang terhormat? Begitu berani menyikut keyakinan kami! Takkan ada asap kalau tak ada api Bapak Gubernur! Sebisa mungkin kami berusaha tidak anarkis agar kami tidak dianggap teroris. Biarkan kami dengan agama kami, dan Anda dengan agama Anda! Mari kita saling menghormati dan menghargai!

Senin, 03 Oktober 2016

Apa itu Egois?

Kali ini gua ingin menuliskan sebuah tulisan yang menampar diri sendiri. Duduk seorang diri di bangku tunggu PGC karena gua datang terlalu cepat, mall ini belum buka. Disela menunggu terbersit dalam kepala tentang sifat yang gua sendiri membencinya bagaimana orang lain. Kesadaran diri sesungguhnya ada tapi penyakit satu ini mudah kambuh bahkan menjadi candu. Menjadi yang terbaik itu hebat tapi memaksakan dengab segala cara agar jadi yang terbaik itu harus dipertanyakan? Pantaskah?

Oke, penyakit itu adalah Egois, sebuah kata yang berasal kata ego yang artinya struktur psikis berhubungan dengan konsep diri diatur oleh prinsip realitas, ditandai kemampuan menoleransi frustasi. Ego lebih pada keseimbangan, ini positif, sedang apa yang gua miliki adalah egois.

Egois tidak hanya gua temukan pada diri sendiri banyak juga gua temukan pada orang lain bagaimana sifat ini menjelma jadi sifat yang menjengkelkan bahkan dibenci orang lain. Sayangnya hanya teman dekat yang berani mengungkapkan kejujuran keegoisan kita sedangkan orang lain akan lebih banyak diam, jadi penonton dan menggerutu dalam hati.

Egois gua rasakan seperti sebuah sifat yang menempatkan diri gua ditengah satu tujuan tanpa peduli tentang orang lain. Sifat ini sudah lama menjangkiti diri gua, tapi semakin dewasa gua semakin memahami sifat ini sehingga perlahan gua berusaha berubah walau seringkali kambuh.

Egois bisa mengarah pada kesombongan, keangkuhan, dan terlalu mencintai diri sendiri. Bicara besar padahal aksi kecil, membanggakan diri sendiri didepan orang banyak secara berlebihan, seolah paling tahu segalanya padahal bermodalkan cerita. Dalam setiap renungan gua menyadari ternyata gua telah salah dalam menempatkan diri dalam dialog dengan orang lain. Jika sudah sampai tahap itu gua akan menahan diri untuk jadi pendengar yang baik.

Orang pintar itu sedikit bicara tapi kena hasilnya, tapi orang egois banyak bicara kosong isinya. Gua faham betul akan hal itu, gua pernah menjalani pada posisi itu.

Bukan hanya hal diatas bagian dari sifat egois, jika diperingatkan selalu membantah dan merasa paling tahu. Mencari pembelaan kadang sampai menembus batasan, bahkan melewati apa yang sudah jelas dilarang oleh agama. Jika salah sulit mengakui, semaksimal mungkin mencari pembenaran. Menghasut orang lain, menjelek-jelekkan mereka yang benar padahal sudah jelas orang lain tahu siapa yang benar dan siapa yang salah. Hanya beberapa yang respek dan sepaham saja yang akan menyetujui kata-katanya kadang juga karena memang terpaksa, jika dimentahkan orang tersebut mengerti dia akan menjadi sasaran Selanjutnya untuk sebuah kebencian yang akan disebarkan ke orang lain.

Gua sudah berusaha melewati masa itu, gua sempat berpikir jika sifat egois sering juga disebabkan dengan hati yang menyimpan kebencian, hati yang terdapat bintik hitam, semakin diperingatkan semakin tidak mau mendengarkan kebaikan karena bintik hitam itu terus bertambah sampai benar-benar menutupi hatinya. Sehingga tidak satupun perkataan orang lain yang mau dia dengar.

Gua menyesali saat itu, bagaimana banyak sekali perkataan orang lain yang gua mentahkan kemudian gua menemukan banyak kegagalan. Beginilah cara Allah mengingatkan untuk sadar dengan ke-egois-an yang gua pelihara dalam hati. Watak ini mendarah daging jika dibiarkan.

Banyaknya kegagalan dan kekesalan orang lain yang menyerang diri gua mengajarkan gua bahwa egois telah mencelakai gua. Gua harus berubah walau sulit, jadilah pendengar yang baik.

Minggu, 02 Oktober 2016

Mari Bertukar Rasa

Bisakah kau bertukar rasa berang sedikit saja
Aku yang minta pada akhir perjumpaan
Tapi justru jadi jeruji kemudian hari
Aku tidak bisa beranjak dari manisnya kesan yang engkau sematkan

Lingkaran kenangan ini mengelilingi langkah maju
Kemana melangkah dia berkelakar, jika aku tidak mampu berpaling
Berhenti memenjarakan aku, tolong berhenti
Tapi engkau sudah lama pergi, tidak bertanggung jawab lagi tuk hari ini

Kesan manis itu nyatanya juga ranjau yang meledak tiap kali salah melangkah
Mendung menakutkan dalam perjalanan
Engkau hujan, bagaimana aku bisa lari darimu
Tiap tetesan merupakan panah kenangan,

Sesekali lupa kala sedang bermain dengan merpati putih
Tapi engkau mawar merah durinya masih terasa
Buat aku terus terdesak untuk mengingatnya
Bisakah barang sebentar kita duduk, lalu bertukar posisi tentang rasa sakit

Sabtu, 01 Oktober 2016

Itu Yang Benar

Masih, aku bersemayam dibalik kelambu malu
Aku bertanya pada sebuah janur di sisi jalan
Apakah gagah itu berdasarkan dasi yang dikenakan?
Atau dompet yang diayun-ayunkan?

Jika iya, maka aku bukan kegagahan itu
Jika tidak, mindset itu sudah tertanam melekat
Keheningan bukan solusi, temaram hati tiap pagi rasa pilu
Menjauhlah hari-hari pekat, kelabu itu jelas menyengat

Ada yang berlomba-lomba menyudahi masa lajang
Ada yang bersabar dalam keraguan
Ada yang tidak tahu arah dalam tujuan
Ada prinsip-prinsip yang memaksa bertahan lebih lama

Kata orang, kata orang, orang memang terus berkata
Tapi kita dipaksa mendengar
Gerah, gelisah, ada resah mendesah halus ditelinga
Mengalir berkata lembut, menikahlah itu yang benar

Mahar termurah itu surga terindah
Berjuang bersama itu cinta
Membesarkan bayi-bayi merah kelak jadi surga
Bukan bermewah-mewah pada akhirnya sengsara
Menikahlah itu yang benar, katanya