Kamis, 13 Oktober 2016

Tandusnya Hukum Di Negeri Ini

Saya tidak pintar, tapi saya percaya ulama, karena mereka yang lebih mengerti tuntunan hidup yang nabi ajarkan. Saya, siapakah saya? Hanya seonggok hamba yang mengharap surga walau berlimpah dosa setiap harinya. Jaman ini jaman yang tidak bersahabat untuk kita, anak kita, dan penerus bangsa ini. Jaman dimana kenyataan seperti dongeng, dongeng seperti kenyataan. Ada orang-orang yang melakukan kesalahan kemudian mengaku khilaf dalam kepalsuan, urusan selesai. Ada orang yang marah karena memang teraniaya lalu di tuduh mencemarkan nama baik, isu SARA, merusak persatuan bangsa, teroris, dan sebagainya seenak mereka menyebut panggilan-panggilan miring untuk orang-orang yang dikucilkan.

Bagaimana ulama tidak dihargai sebagian orang, mereka mengolok-olok ulama, hanya untuk kepuasan dalam berpolitik. Saya belum juga puas membahasnya karena ada dongkol dalam hati, tapi saya berusaha untuk tidak membenci, kalau bisa negara ini bersatu dan saling menghormati sesama. Jangan malah dirusak oleh sebagian kecil-kecil orang yang hati buntu, telinganya tuli, matanya buta, sifat manusianya hilang. Sebagian orang yang menghalalkan segala cara hanya karena syahwat politik, yang menghancurkan Bhinneka Tunggal Ika untuk kepentingan pribadi kelompoknya. Hukum tidak mampu mengadili, tajam kebawah tumpul keatas, media menuntun kita pada opini yang bukan kenyataan, lalu apa yang menjadi patokan informasi kita. Media sosial sering kali Simpang siur.

Kala Muslim yang mengekspos kesalahan orang lain, seenaknya saja disalahkan sebagai pencemar nama baik, lalu dijadikan tersangka. Sementara penghina agama, kitab suci, ulama, ummat, bahkan uu negara ini, dibiarkan bebas belum dicokok. Lucunya negeri ini, lucunya! Lalu kiri-kanan pendukungnya mulai mengorek-ngorek alasan untuk pembenaran. Bagaimana bisa yang salah dibenarkan dan yang benar disalahkan? Pertanyaan ini berlaku 50 tahun yang lalu, sedangkan hari ini semua bisa. Rasanya keadilan itu bisa dilelang berdasarkan harga, menyakitkan.

Jika semua ulama' sudah menyatakan sikap Seiya dan sekata pada satu keputusan, masihkah kita meragukan. Tapi masih saja saya menjumpai pembelaan-pembelaan yang akhirnya malah memperolok-olok ulama', perih rasa hati ini. Tapi siapakah saya yang tidak bisa membuat keputusan atau memutuskan. Mereka si pembuat keputusan hanya menonton? Jaman macam apa ini? Jaman yang sungguh tak bersahabat.

Skenario yang mereka bangun kadang buat orang seperti saya jadi tidak cerdas dalam melihat. Sutradara politiknya sungguh luar biasa, membutakan mata-mata kami yang tidak pandai memilah. Dibohongi itu menyakitkan, saya bertanya mafia macam apa yang sedang berkuasa sampai-sampai harimau tergarang cuma jadi anggora dalam kandang. Saya cuma bertanya mafia macam apa yang berkuasa sampai-sampai

MUI, Ulama, Ustadz, petinggi agama kini dilecehkan oleh orang-orang haus akan kekuasaan yang hanya sementara mereka bertakhta. Silahkan saja berkuasa tapi tetaplah mengikuti aturan yang Allah Subhana Wata'ala berikan, bukan malah melawannya dengan mulut-mulut kotor, tulisan-tulisan menjijikkan, perilaku binatang yang ditunjukkan. Tapi hari ini bahkan hukum Allah Subhana Wata'ala saja sudah berani dilawan, kita hanya perlu menunggu azab apa yang akan ditimpakan pada kemungkaran yang sedang terjadi.

Kering benar kebenaran dan keadilan di negeri ini, kita bisa merasakan betapa tandus nya hukum yang sedang berjalan. tapi apa yang bisa kita perbuat, diam, menonton, melawan, dilengserkan, benar, dipelesetkan, tidak ada lagi kita temukan bibit-bibit hijau yang mau tumbuh di tanah tandus ini. Marilah kita berdoa agar seluruh ummat atau pelaku-pelaku penistaan tersebut bertaubat dan kembali pada jalan yang benar.

Tidak ada komentar: